Lampung Selatan, REVOLUSI.co.id – Tragedi pengerusakan rumah-rumah warga Desa Natar, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan pada 13 Januari 2025, yang diduga dilakukan oleh PTPN VII, masih menyisakan luka mendalam. Permohonan maaf Kepala Desa Natar, M. Arif, S.Pd, yang mengakui kelalaiannya telah menandatangani dan membubuhkan stempel pada sporadik tanah yang dikuasai warga, dianggap tidak cukup untuk menghapus fakta bahwa rumah-rumah warga telah dihancurkan tanpa dasar hukum yang jelas.
Dalam pernyataan yang dilansir dari RadarLamsel.com, M. Arif mengakui bahwa dirinya telah melakukan kesalahan dengan menandatangani surat sporadik yang diterbitkan atas lahan sengketa. Ia menyampaikan baru mengetahui bahwa Desember 2019 ada Peraturan Bupati (Perbup) bahwa lahan tersebut masuk wilayah Desa Sidosari, bukan Desa Natar.
“Saya menyampaikan permohonan maaf atas kelalaian saya menandatangani surat sporadik yang dibawa almarhum ketua LSM Pelita. Semua urusan di Kampung Pelita sejak 8 Januari 2025 sudah di luar kewenangan Desa Natar,” ujar M. Arif.
Kepala Desa Natar juga meminta masyarakat untuk tidak membela atau bertahan di lokasi tersebut. “Saya memohon maaf kepada pihak PTPN VII dan pihak berwajib atas kekeliruan ini,” tambahnya.
Permohonan maaf dari Kepala Desa Natar mendapatkan tanggapan tegas dari Moch. Ansory, S.H., Advokat EMAS Law Firm. Ia menegaskan bahwa permintaan maaf tersebut tidak relevan dengan peristiwa pengerusakan rumah warga yang diduga dilakukan oleh PTPN VII pada 13 Januari 2025.
“Permohonan maaf kepala desa tidak dapat menghapus dugaan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Laporan korban, termasuk laporan Sdri. EPA (inisial-red) di SPKT Polda Lampung, harus diproses sesuai hukum. Permintaan maaf tidak dapat menjadi dasar untuk menghentikan tuntutan pidana,” ujar Ansory.
1. Pasal 170 KUHP (Tindak Kekerasan Bersama-Sama)
Pasal ini menyatakan:
“Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”
Dalam konteks peristiwa ini, tindakan penghancuran rumah-rumah warga dianggap sebagai bentuk penggunaan kekerasan terhadap barang yang dilakukan secara bersama-sama oleh pihak-pihak yang terlibat.
2. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP (Penyertaan dalam Tindak Pidana)
Pasal ini menyebutkan:
“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.”
Berdasarkan pasal ini, pihak-pihak yang menyuruh, mendukung, atau terlibat langsung dalam pengerusakan rumah warga, termasuk dalam pelaku tindak pidana. Ini meliputi semua pihak yang memberikan perintah atau melakukan tindakan di lapangan.
Moch. Ansory menekankan bahwa penghancuran rumah warga pada 13 Januari 2025 tidak dapat dianggap sah, meskipun ada dalih bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh pihak PTPN VII untuk mengamankan lahan. Ia menegaskan bahwa tidak ada dasar hukum yang membenarkan penghancuran rumah tanpa fiat Ketua Pengadilan Negeri, sebagaimana diwajibkan dalam pelaksanaan eksekusi riel.
“Eksekusi riel yang sah hanya dilakukan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan dengan prosedur yang ketat. Tindakan PTPN VII yang menghancurkan rumah warga tanpa fiat pengadilan adalah bentuk pelanggaran hukum yang serius dan harus diusut tuntas,” tegas Ansory.
Ansory juga menyoroti keterlibatan aparat keamanan dalam peristiwa ini. “Jika TNI, Polri, atau aparat lainnya hadir tanpa menjalankan fungsi melindungi masyarakat, melainkan membiarkan penghancuran rumah terjadi, maka patut diduga telah terjadi pembiaran. Hal ini mencederai kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum,” ujarnya.
Ansory menegaskan bahwa PTPN VII wajib mengganti kerugian yang dialami warga akibat penghancuran rumah mereka. “Dalih mengikuti prosedur tidak dapat diterima jika prosedur yang dilakukan ternyata bertentangan dengan hukum. PTPN VII harus bertanggung jawab atas semua kerugian material dan moral yang diderita korban,” tambahnya.
Tragedi Kampung Pelita bukan hanya tentang sengketa lahan, melainkan juga soal pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan yang dialami warga. Permintaan maaf saja tidak cukup untuk menutupi luka yang dialami korban. Hukum harus ditegakkan, dan semua pihak yang terlibat dalam tindakan ilegal ini harus bertanggung jawab.
“Kami tidak akan berhenti memperjuangkan hak-hak korban hingga keadilan benar-benar ditegakkan,” tutup Ansory dengan penuh ketegasan. ( REDAKSI )